Sekadar informasi saja, adopsi teknologi kendaraan otonom di Amerika Serikat telah menimbulkan gejolak karena bisa menyebabkan banyak sopir yang menganggur. Tapi Singapura sebaliknya, justru menghadapi tantangan dalam mempekerjakan sopir.
Toh tetap saja terjadi pro-kontra mengenai hal tersebut. Dr Park Byung Joon, seorang associate professor (profesor madya) di UniSIM, misalnya, menyatakan bahwa Singapura masih jauh dari target melihat kendaraan otonom berlalu lalang di jalanan. “Hal ini belum menjadi sesuatu yang harus kita khawatirkan saat ini,” ujarnya. Sementara Direktur operasional Gardens by the Bay, Ng Boon Gee, menyatakan pengemudi trem mereka saat ini dapat dialihkan menjadi pemandu bagi pengunjung pada wahana Auto Riders.
Sebagai catatan, di seluruh dunia setidaknya ada 25 perusahaan yang telah menanamkan modal mereka dalam pengembangan teknologi kendaraan otonom. Google misalnya, telah melakukan uji coba di Texas dan California. Sementara Uber akan bermitra dengan University of Arizona untuk melakukan penelitian sejenis. Di Singapura, A*STAR dan SMART (Singapore-MIT Alliance for Research and Technology) mulai menjalankan uji coba kendaraan otonom di area One-North mulai Agustus dan Oktober, secara berturut-turut.
Tender kebutuhan kendaraan otonom untuk jenis layanan antar-jemput sesuai permintaan (on demand) dan layanan bus telah diumumkan lebih dulu. Sejauh ini, sudah terdapat delapan perusahaan yang mengajukan pendaftaran tender tersebut, antara lain BMW dan Uber, dan uji coba akan dimulai di area One-North pertengahan semester kedua tahun depan.
Nah, menurut Anda, seberapa jauh kesenjangan skala teknologi dan tingkat layanan sistem transportasi umum di Indonesia terhadap era kendaraan otonom yang segera tiba?